REKAYASA
GENETIKA
Padi Hibrida
Cina, Buah dari Ketekunan dan Kesabaran Sebuah Penelitian
http://biogen.litbang.deptan.go.id/index.php/2012/08/padi-hibrida-cina-buah-dari-ketekunan-dan-kesabaran-sebuah-penelitian/
Prinsip Padi Hibrida
Prinsip padi hibrida adalah
memanfaatkan sifat heterosis (hybrid vigor) ketika dua tetua yang
berbeda dikawinkan. Benih yang dihasilkan (F1) ketika ditanam
diharapkan akan memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan dua tetuanya.
Prinsip inilah yang digunakan untuk memproduksi benih jagung hibrida. Ketika
tetua jagung A dalam kondisi homozigot (didapatkan melalui perkawinan sendiri/selfing)
disilangkan dengan tetua jagung B yang juga dalam kondisi homosigot, maka biji
yang dihasilkannya adalah heterosigot yang ketika ditanam akan memberikan hasil
(produksi) lebih baik dibandingkan dengan tetua A dan B. Persilangan buatan
pada jagung jauh lebih mudah dibandingkan padi karena posisi bunga jantan dan
betina terpisah di dalam satu pohon. Dalam skala industri bunga jantan yang
tidak dikehendaki bisa dipotong menggunakan mesin. Namun, dengan adanya sifat
mandul jantan pada jagung tetua A sebagai tetua betina tidak perlu dilakukan
pemotongan bunga jantannya. Sederhana sekali. Bagaimanakah dengan padi? Tentu
saja tidak bisa menggunakan prinsip kerja seperti pada jagung, sehingga mutlak
diperlukan tetua A yang memiliki sifat mandul jantan, karena bunga padi sangat
kecil dan banyak dan tidak mungkin dilakukan kastrasi (membuang benang
sari) satu persatu.
Pada padi hibrida diperlukan 3
tetua, yakni tetua A sebagai galur yang punya sifat mandul jantan, sering
disebut galur CMS (Cytoplasmic male sterility line) galur B (maintainer
line) yang berfungsi sebagai tetua yang ketika disilangkan dengan tetua A
bisa menghasilkan benih yang ketika ditanam tanamannya adalah mandul jantan
juga. Tanpa tetua B benih-benih tetua A tidak mungkin bisa diproduksi. Tetua
yang lain adalah tetua R (restorer), yakni tetua yang akan disilangkan
dengan tetua A untuk menghasilkan benih F1. Ketiga tetua inilah yang
dipakai sebagai modal untuk menghasilkan benih F1 yang bagus. Namun
untuk mendapatkan 3 tetua tersebut tentu saja memerlukan waktu bertahun-tahun
dan penelitian yang tidak mengenal lelah. Untuk memahami mekanisme kerja padi
hibrida dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tetua A dan B merupakan pasangan
yang tidak terpisahkan dan harus cocok secara genetik. Tetua A atau galur CMS
merupakan galur yang secara genetik membawa sifat mandul jantan ditandai dengan
tidak adanya kemampuan menghasilkan polen yang fertil. Sifat ini di bawa oleh
DNA faktor S (steril) yang terdapat pada sitoplasma, ketika berinteraksi dengan
DNA pada inti sel (rr) yang juga steril maka ekspresi polen menjadi steril
juga. Pada persilangan CMS (A) dan maintainer (B), yang dipakai sebagai
induk betina adalah galur A dengan gen S pada sitoplasma. Polen yang digunakan
dari galur B bersifat fertil, namun gen S pada mitokondria B tidak terikut pada
persilangan A x B. Oleh karena itulah benih-benih yang dihasilkan dari
persilangan A x B ketika ditanam akan steril. Galur A dan B ini harus dicari
dengan cara mengeskplorasi plasma nutfah yang ada, baik dari varietas lokal/
introduksi, japonica/indica, varietas liar, dan sebagainya. Persilangan
dengan jarak genetik yang berbeda biasanya bisa menghasilkan tanaman CMS. Untuk
menghasilkan tanaman A dan B yang kembar biasanya dilakukan silang balik
berkali-kali. Hal ini perlu dilakukan agar ketika dilakukan persilangan dengan restorer
tidak banyak variasi genetik pada tanaman CMS. Tanaman CMS harus seragam secara
genetik. Dengan persilangan silang balik berulang-ulang akan dihasilkan tanaman
CMS dan maintainer yang susunan genetik pada gen inti sama kecuali gen S
pada sitoplasma.
Tabel 1. Mekanisme kerja padi hibrida.
Kantor China National Hybrid Rice Research and
Development.
|
Laboratorium
Galur restorer tidak sesulit mencari dan
membuat galur A dan B, namun memerlukan pengujian persilangan berkali-kali.
Begitu didapatkan beberapa galur A (beserta pasangannya), maka kandidat restorer
disilangkan dengan galur A untuk dilihat fertilitas F1-nya. Walaupun
secara teori gen yang dikandung pada benih F1 adalah S(Rr), tapi
belum tentu tanaman F1-nya akan menghasilkan benih dalam keadaan
utuh. Setelah didapatkan calon-calon restorer yang cocok dilakukan
persilangan untuk menghasilkan benih F1. Benih F1 ditanam
dan diuji daya gabungnya (combining ability) dan harus dibandingkan pula
dengan varietas yang sudah ada. Benih F1 yang memiliki daya gabung
tinggi, melebihi dari tetua standar diuji berkali-kali terhadap produksi, hama
penyakit, kualitas beras/nasi, dan tentu saja diuji di beberapa lokasi untuk
melihat potensi hasilnya.
Padi Hibrida Cina
Adalah Prof. Yuan Longping, seorang peneliti dari Cina
dilahirkan di Beijing (Cina) pada tahun 1930 telah berhasil mengembangkan padi
hibrida sedemikian rupa sehingga bisa berkembang pesat seperti sekarang ini.
Dialah yang pertama kali mengemukakan ide penggunaan heterosis pada padi dan
memulai penelitian padi hibrida di Cina pada tahun 1964 (umur 34 tahun).
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari tetua A (mandul jantan) secara
alami dan pasangannya (tetua B). Upaya ini terus dilakukan sampai tahun 1970
dan ditemukan beberapa pasang tetua padi yang bisa dijadikan sebagai tetua A
dan B. Pada tahun 1973 beberapa galur dari IRRI didatangkan dijadikan sebagai
tetua restorer, dan ternyata ada yang cocok. Galur/benih F1
yang memberikan sifat superior ini dinamakan “Nan You No. 2” di mana mulai
dikomersialkan di Cina pada tahun 1976. Terbukti padi hibrida pertama tersebut
berhasil melebihi varietas komersial yang ada pada waktu itu. Penelitian padi
hibrida Cina ini terus berlangsung sampai sekarang ini, dan karena dianggap
penting maka didirikanlah pusat penelitian padi hibrida Cina, atau China
National Hybrid Rice Research and Development pada tahun 1986, di
mana Prof. Yuan Longping sebagai bapak padi hibrida Cina menjadi direktur
sampai sekarang ini. Bahkan, pada usianya yang telah menginjak 92 tahun beliau
masih sanggup menjadi nakhoda pusat penelitian padi hibrida Cina. Perlu
diketahui instansi ini berada di bawah Minitry of Science and Technology
(mirip Kementerian Riset dan Teknologi di Indonesia.
Perkembangan padi hibrida Cina bisa terbagi ke dalam
beberapa tahap, yakni:
1. Three lines system (periode
1960-1980).
2. Two lines system (periode 1980-1995).
3. Super hybrid rice (1996 sampai
sekarang).
4. One line system (baru tahap
pengembangan).
Three lines system menggunakan tiga galur (A, B, dan R) dan sudah
dijelaskan di atas. Produksi padi hibrida juga memerlukan kehati-hatian agar
serbuk sari yang terpakai adalah benar-benar dari galur R, bukan dari tanaman
padi lainnya. Oleh karena itulah kadang-kadang digunakan penghalang benda
(plastik), penghalang tempat, penghalang waktu tanam, atau penghalang tanaman
lain yang bisa menghalangi serbuk sari dari tanaman padi yang bukan yang
dikehendaki. Perbandingan antara galur A dan R juga berbeda agar dihasilkan F1
hibrid sebanyak-banyaknya. Biasanya galur A jauh lebih banyak dibandingkan
dengan galur R. Gibberellin (GA3) juga kadang digunakan untuk
mempercepat pemanjangan malai-malai galur A agar ketika mekar tidak ada
spikelet (bunga padi) yang masih tertinggal di dalam batang padi. Penyerbukan
juga sering dibantu dengan menggoyang-goyangkan batang padi galur R) agar
serbuk sarinya bisa sempurna beterbangan (rouging). Oleh karena di Cina
hanya tempat-tempat di bagian selatan yang bisa ditanami padi secara terus menerus
maka sebagian besar peneliti padi hibrida Cina menanamnya di Pulau Hainan (Cina
bagian selatan, dekat Vietnam), dan mereka biasanya menunggu masa-masa kritis
(masa pembungaan) tersebut dalam waktu 1 bulanan. Dari peneliti yunior sampai
senior scientist akan bergabung di sana untuk mengawasi persilangan. Setelah
proses penyerbukan selesai dan terlihat hasilnya bagus baru mereka pulang ke
institusi masing-masing.
Two lines system menggunakan hanya dua galur saja, yakni A dan R.
Galur A yang memiliki sifat sensitif terhadap lingkungan, sehingga sering
disebut dengan Environment sensitive genic male sterility (EGMS). Galur
EGMS ini juga terbagi ke dalam dua golongan, yakni photoperiod sensitive
genic male sterile (PGMS) dan thermosensitive genic male sterile (TGMS).
Pada sistem ini galur B tidak diperlukan lagi sehingga akan menghemat biaya
produksi untuk menghasilkan benih-benih CMS. Prinsip kerja yang diadopsi adalah
ketika suhu lingkungan melebihi ambang batas tanaman yang dimiliki TGMS,
galur-galur tersebut akan memiliki serbuk sari yang steril (jantan mandul),
namun ketika temperatur di bawah ambang batas maka tanaman akan fertil.
Demikian pula pada tanaman dengan sifat PGMS, pada kondisi penyinaran yang
melebihi ambang batas (biasanya terjadi pada musim panas) maka tanaman akan
bersifat steril (jantan mandul terjadi), namun apabila panjang penyinaran lebih
rendah dari ambang batas maka tanaman akan bersifat fertil.
Cina memiliki karakter dengan wilayah yang
berbukit-bukit dan sebagian adalah padang pasir dan bersalju. Cina juga
memiliki empat musim yang bisa mempengaruhi suhu udara dan panjang penyinaran.
Penerapan sistem PGMS dan TGMS di Cina bisa dilakukan dengan mudah. Pada saat
suhu rendah dengan waktu penyinaran pendek maka dilakukan perbanyakan benih CMS
(galur A) sebanyak-banyaknya, dan pada saat suhu tinggi dan waktu penyinaran
lebih panjang galur A tadi ditanam sebagai tanaman CMS yang akan diserbuki oleh
galur restorer untuk menghasilkan benih F1 hibrid. Pada PGMS
titik kritis waktu penyinaran adalah 13,75-14 jam dengan intensitas pe-nyinaran
di atas 50 Lux, sedangkan pada TGMS titik kritis suhu udara adalah 23-29oC.
Setiap galur/varietas biasanya memiliki titik kritis yang berbeda-beda, baik
suhu dan waktu penyinaran. Biasanya tiap-tiap galur akan diuji coba untuk
melihat galur mana yang sesuai dengan kondisi di daerah Cina. Untuk mendapatkan
galur-galur PGMS dan TGMS mereka mengeksplorasi plasma nutfah yang dimiliki dan
juga melakukan mutasi dengan radiasi sinar gamma. Galur TGMS telah berhasil
dibuat di Jepang dengan penyinaran 20.000 rad sinar gamma. Galur tersebut
dinamakan Reimei. Peneliti IRRI juga berhasil membuat TGMS mutan dari padi indica
(IR32364-20-1-3-2) yang terlihat steril pada suhu 24-31oC, namun
sebagian fertil pada suhu 21-28oC). Gen-gen yang mengatur PGMS dan
TGMS juga telah diidentifikasi ternyata dikendalikan oleh gen inti, sehingga
upaya transfer gen baik dengan persilangan atau rekayasa genetik bisa
dilakukan.
Namun, PGMS dan TGMS memiliki kelemahan yakni apabila
terjadi anomali iklim produksi benih F1 hibrid menjadi terhambat
atau gagal. Sebagai contoh misalnya pada saat pembungaan biasanya berlangsung
pada saat musim panas, ternyata pada saat itu suhu justru turun masih di bawah
ambang batas dan waktu penyinaran pendek (banyak awan dan hujan). Tanaman
kemungkinan besar akan fertil atau sebagian steril. Benih F1 yang
dihasilkan menjadi tidak murni. Oleh karena itulah sistem dua galur memerlukan
kajian yang mendalam. Bisa jadi tempat produksi benih galur A akan berbeda
dengan produksi benih F1 hibridnya. Produksi benih galur A dilakukan
di daerah dengan suhu rendah dan waktu penyinaran pendek, sedangkan produksi F1
hibridnya dilakukan di daerah yang memang suhu udaranya selalu tinggi (daerah
tropis).
Selain PGMS dan TGMS sekarang juga dikembangkan galur
anti PGMS dan anti TGMS. Artinya, berkebalikan dengan yang sebenarnya. Anti
PGMS akan steril pada saat ditanam di daerah dengan waktu penyinaran pendek,
dan fertil pada daerah dengan waktu penyinaran panjang. Demikian pula anti
TGMS, akan bersifat steril pada saat suhu rendah dan bersifat fertil pada saat
suhu tinggi. Dengan sifat seperti itu produksi benih F1 hibrid bisa
dilakukan di mana saja dengan kondisi cuaca apa saja. Hal ini akan memberikan
peluang produksi benih padi F1 hibrid sebanyak-banyaknya.
Teknologi ini merupakan terobosan teknologi untuk
mengembangkan sayap perusahaan benih Cina di daerah tropis, seperti Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan lain-lain. Produksi galur A bisa dilakukan secara
besar-besaran di Cina pada saat musim dingin atau di tempat yang memang selalu
mengalami musim dingin (Cina bagina utara), sedangkan produksi benih hibridnya
dilakukan setiap saat di daerah tropis yang suhu lingkungannya jauh melebihi
ambang batas tanaman EGMS. Dengan teknik ini produksi benih tetap bisa
dilakukan setiap tahun. Keberadaan galur CMS tetap aman karena hanya bisa
diproduksi di Cina saja.
Super hybrid rice mengacu pada pengertian produksi padi yang dihasilkan
dari benih padi hibrida adalah sangat tinggi melebihi yang sudah ada. Di
Indonesia, padi inbreed yang sudah dilepas saat ini rata-rata
produksinya sekitar 7-8 ton/ha GKG. Pada hibrida saat itu memiliki kemampuan
(potensi hasil) 8-10 ton/ga GKG, bahkan ada yang mengklaim bisa menghasilkan
12-15 ton/ha GKG. Namun pada kenyataan produksi yang dihasilkan tidak sebesar
itu.
Sampai periode tahun 2000-an produksi padi hibrida di
Cina sudah mencapai 12 ton/ha. Maka lahirlah pemikiran untuk merakit padi
hibrida super dengan target produksi minimal 15 ton/ha GKG. Berbagai pendekatan
dilakukan untuk merakit padi hibrida seperti itu. Pada penelitian awal mereka
telah berhasil mendapatkan kombinasi persilangan P64S/E32 dengan hasil sampai
17,1 ton/ha. Peneliti Cina melakukan perbaikan padi hibrida dengan pendekatan
(i) perbaikan morfologi (ii) peningkatan level heterosis, dan (iii)
bioteknologi. Pada perbaikan morfologi tanaman F1 hibrid diarahkan
memiliki bentuk daun yang seperti V, panjang, tegak, tipis, dan lebar. Daun
yang tegak diharapkan bisa menyerap sinar matahari secara efisien. Ujung malai
juga dipilih 60-70 cm dari tanah selama masa pengisian biji, lebih rendah dari
yang biasanya. Ukuran malai juga harus lebih besar. Dengan berat butir isi per
malai sekitar 5 g dan jumlah malai sekitar 300/m2 maka secara teori
potensi hasil adalah 15 ton/ha.
Perakitan padi hibrida super lainnya adalah dengan
cara meningkatkan heterositas dengan menyilangkan varietas yang berjarak
genetik jauh. Upaya ini sebetulnya sudah dilakukan pada saat periode I dan II,
namun tentu saja pada program padi hibrida super ini dikombinasikan dengan
bioteknologi. Berbagai gen-gen dari padi varietas liar dimasukkan ke dalam tetua
padi hibrida untuk mendongkrak produksi. Gen-gen C4 (dari tanaman Echinochloa
crusgalli) untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis juga dimasukkan
melalui teknologi rekayasa genetika. Gen lain seperti Bt, cpc juga digunakan
dalam program ini. MAS/MAB juga tak luput digunakan dalam program ini. Pada
tahun 2001 penanaman secara luas padi hibrida super telah dilakukan dengan
rata-rata hasil sekitar 13,5 ton/ha. Tahun-tahun berikutnya diharapkan akan
lebih besar.
One line system, menggunakan pertimbangan bahwa F1 hibrid
yang sudah stabil dan bagus mestinya bisa diperbanyak tanpa mengurangi sifat
heterosisnya. Secara teori banyak yang bisa dilakukan, yakni: propogasi secara
aseksual (misal dengan ratoon atau membelah tanaman), kultur jaringan,
menggunakan “balanced lethal system” (tanaman homosigot akan mati, yang
heterosigot hidup), benih apomiksis (satu benih bisa banyak tanaman),
genom amphidiploid (jumlah kromosom di duakalikan, sehingga sifat
tanaman akan stabil walaupun genomnya terpisah saat terjadi meiosis). Di antara
berbagai teknik tersebut benih apomiksis menjadi fokus penelitian. Pengembangan
benih apomiksis ini sudah dilakukan peneliti Cina sekitar tahun 1980-an, dan
sudah didapatkan beberapa galur yang bersifat poliembrionik. Namun, pengembangan
secara komersial belum dilakukan karena mengalami kendala teknik. Gen-gen yang
mengatur apomiksis tersebut bisa dipetakan dan marka yang diperoleh bisa
digunakan sebagai alat seleksi.
Produksi Benih Hibrida Cina dan Indonesia
Bagaimanakah sistem produksi benih padi hibrida Cina?
Produksi benih padi F1 hibrid di Cina dilakukan oleh perusahaan
benih swasta, sedangkan penelitian dilakukan oleh lembaga penelitian dan
universitas. Penelitian padi hibrida Cina tidak dikontrol oleh satu lembaga,
namun diserahkan kepada masing-masing universitas/lembaga penelitian. Tidak ada
petunjuk teknis lembaga A meneliti padi hibrida dari aspek ini atau itu, namun
sebagai pionir penelitian padi hibrida, institusi ini (China National Hybrid
Rice Research Research and Development) selalu menjadi bahan
rujukan, apalagi Prof. Yuan Longping masih memimpin lembaga ini. Masing-masing
provinsi di Cina memiliki keunikan daerah tersendiri. Padi hibrida di satu
provinsi belum tentu cocok untuk provinsi yang lain. Para peneliti padi hibrida
Cina kadang melakukan pertemuan tapi hanya sebagai tempat berbagi pengalaman
penelitian padi hibrida, bukan untuk mengatur pembagian topik penelitian padi
hibrida. Setiap lembaga diberi kebebasan untuk menggali sumber daya/plasma
nutfah padi yang ada. Perlu diingat bahwa Cina disinyalir sebagai tempat asal
muasal padi, jadi ribuan jenis padi-padian ada di sini. Daerah Cina juga
terdiri dari berbagai macam tipe iklim dari tropik sampai subtropik, sampai
daerah bersalju pun punya. Berbagai macam tipe daerah ini menjadikan Cina
mempunyai peluang mengembangkan padi hibrida untuk berbagai tipe iklim. Satu
provinsi di Cina pun juga terdiri dari wilayah yang sangat luas dan beragam
topografinya. Potensi pengembangan padi hibrida di Cina masih terbuka lebar.
Di antara sekian perusahaan benih yang ada di Cina,
ada satu yang sangat menonjol yakni Yuan Long Ping High-Tech Agriculture Co,
Ltd. Perusahaan ini merupakan BUMN yang sahamnya telah dijual bebas, namun
kepemilikan mayoritas saham masih dikuasai oleh pemerintah Cina. Penggagas
utama pendirian perusahaan ini adalah Prof. Yuan Longping. Perusahaan ini
bahkan memiliki anak perusahaan sekitar 26 buah. Raksasa perusahaan benih ini
juga telah merambah masuk ke Indonesia melalui perusahaan benih lokal tentunya.
Mereka memasok benih ke Indonesia, disertai dengan pendampingan teknis. Atas
kepintaran perusahaan benih Cina mempromosikan benih padi hibrida, hampir semua
negara di Asia Tenggara telah memasukkan benih padi hibrida asal Cina ini
sebagai salah satu pilihan benih padi hibrida. Setiap tahun Yuan Long Ping
High-Tech Agriculture Co, Ltd membiayai ratusan peserta training padi hibrida
di kota Changsa dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Kadang
pejabat-pejabat dari berbagai negara juga difasilitasi untuk melihat
perkembangan padi hibrida Cina. Sebuah promosi yang cukup memakan biaya besar
namun dipastikan akan kembali modal dalam beberapa tahun ke depan.
Tak bisa dipungkiri keuntungan luar biasa yang
diperoleh dengan menjual benih menjadi daya tarik kenapa perusahaan lokal di
Indonesia sangat antusias menjual padi hibrida. Harga benih padi hibrida per
kilonya bisa mencapai 6-8 kali daripada benih inbreed. Menurut petunjuk
teknis dari Diperta Jabar kebutuhan benih satu hektar sekitar 25 kg (padi
sawah), dan 30 kg (padi gogo). Kalau 1 kg padi hibrida dihargai Rp 50.000, maka
satu hektar akan memerlukan benih Rp 1.250.000-Rp 1.500.000. Seandainya benih
hibrida terjual untuk lahan dengan luas 1 juta hektar, maka omzet perusahaan
akan mencapai Rp 1.250.000.000.000-Rp 1.500.000.000.000 (1,2-1,5 triliun
rupiah). Itu hanya untuk satu musim tanam saja. Seandainya terjual untuk dua
musim tanam berarti omzet perusahaan bisa mencapai 2,4-3 triliunan rupiah per
tahun untuk satu juta hektar. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun
2009, luas panen padi sawah Indonesia sekitar 12,800,000 hektar. Berarti omzet
padi hibrida untuk padi sawah di Indonesia maksimal sekitar 30,72-38,4 triliun
rupiah per tahun. Jauh lebih menguntungkan dibandingkan mendatangkan
benih-benih tanaman transgenik yang penuh kontroversial. Semuanya aman dan
terkendali. Oleh karena itulah perusahaan lokal Indonesia mendatangkan benih
dari luar negeri (terutama Cina), atau membeli lisensi pada lembaga penelitian
di Indonesia, misalnya yang sudah terjadi pada BB Padi. Harga lisensi bisa
mencapai USD10,000 (hampir 1 miliar rupiah). Kalau anda sebagai petani/peneliti
independen, maka anda pun bisa menjual karya padi hibrida anda seharga itu.
Nilai 1 miliar rupiah terlalu kecil bagi sebuah perusahaan benih swasta karena
triliunan rupiah bakal kembali dalam waktu satu tahun.
Benarkah padi hibrida itu seindah yang dibayangkan?
Ternyata masih banyak persoalan dibalik pengembangan padi hibrida. Dari
beberapa laporan tertulis ataupun lisan (diperoleh selama kunjungan dinas), ada
beberapa hal yang perlu dikaji ulang mengenai pertanaman padi hibrida di
Indonesia, yakni:
1. Harga yang masih terlalu mahal untuk ukuran
petani Indonesia. Harga benih padi hibrida hanya cocok untuk sistem perusahaan
besar, dengan lahan yang luas sekali. Memang benar saat ini benih padi hibrida
digratiskan untuk petani lewat subsidi benih, namun seandainya subsidi dicabut
petani akan kesulitan untuk membelinya.
2. Benih F1 hibrid tidak bisa
disimpan untuk ditanam pada generasi berikutnya, sehingga petani tidak akan
bisa mandiri. Ketergantungan benih akan semakin menyulitkan petani ketika dia
akan menanam padi. Apabila petani berniat menanam benih inbreed dia akan
kesulitan mencarinya karena saprodi akan lebih suka menjual benih padi hibrida
karena keuntungan yang lebih besar. Kepunahan benih-benih padi inbreed
bisa saja terjadi seandainya 100% lahan padi Indonesia ditanami padi hibrida.
3. Berdasarkan pengujian lapang, tidak semua
tempat bisa menghasilkan produksi tinggi sesuai yang dijanjikan/dipromosikan.
Sama seperti padi inbreed memang tidak semua tempat memiliki persyaratan
optimal untuk pertumbuhan. Oleh karena itulah diperlukan kajian lebih mendalam
mengenai padi hibrida agar dapat direkomendasikan di daerah mana saja cocok
untuk padi hibrida, agar pengharapan petani tidak terlampau tinggi.
4. Tanaman F1 hibrid umumnya adalah
tanaman yang manja dan memerlukan input (pestisida dan pupuk) lebih banyak
dibandingkan dengan tanaman inbreed. Analisis ekonomi perlu
diperhitungkan juga apakah petani untung atau rugi ketika menanam padi hibrida.
Bagaimanakah padi hibrida di tingkat petani Cina?
Sejak padi hibrida Cina dikomersialkan pada tahun 1976 (36 tahun yang lalu)
telah ratusan jenis padi hibrida dihasilkan. Sampai tahun 2012 areal yang telah
ditanami padi hibrida sudah mencapai 55-60% dari luas total pertanaman (di
Indonesia masih kurang dari 5%). Pada awal pengenalan padi hibrida pemerintah
Cina masih memberikan subsidi benih kepada petani (sama dengan di Indonesia
saat ini). Seiring dengan waktu maka subsidi benih tersebut dicabut dan petani
harus membayar mahal untuk benih padi hibrida. Sebagai perbandingan, saat ini
benih 1 kg padi hibrida super sekitar 80 Yuan/kg (= Rp 104.000), benih padi
hibrida biasa (bukan super) sekitar 40-50 Yuan/kg (=Rp 52.000-Rp 65.000),
sedangkan harga benih padi inbreed sekitar 3-5 Yuan/kg (Rp 3.900-Rp
6.500). Kebutuhan benih di Cina adalah 15 kg/ha pada saat musim tanam 1 (awal
musim panas), dan 25-30 kg/ha pada saat musim tanam II (akhir musim panas awal musim
gugur/dingin). Petani memang harus merogok kocek cukup dalam untuk menanam padi
hibrida. Namun, karena sudah puluhan tahun berpengalaman menanam padi hibrida
mereka masih konsisten menanamnya, karena harga benih yang mahal akan tertutupi
dengan hasil panen yang cukup tinggi.
Sebagai gambaran di Indonesia, misal panen padi biasa
menghasilkan 7 ton/ha, padi hibrida super menghasilkan 15 ton/ha, dan harga 1
kg padi hasil panen (GKG) adalah Rp 4.500, maka penghasilan kotor petani padi
hibrida Indonesia sebesar 15.000 kg x Rp 4.500 = Rp 67.500.000/ha per musim
tanam. Harga benih yang harus ditebus (bila subsidi dicabut) adalah 25 kg x Rp
104.000 = Rp 2.600.000/ha. Kalau memakai benih biasa seharga 25 kg x Rp 5.000 =
Rp 125.000/ha. Selisih harga benih yang harus ditebus adalah Rp 2.475.000.
Memang cukup besar, namun biaya tersebut dapat ditutupi hanya dari kelebihan 1
ton hasil. Dengan perbaikan sistem pertanaman, mungkin kebutuhan benih bisa
ditekan seminimal mungkin. Keuntungan menanam padi hibrida memang cukup
menggiurkan, namun kadang kenyataan tidak selalu cocok dengan teori.
Melihat masih pro kontranya tanaman padi hibrida di
kalangan petani, sebaiknya petani dibebaskan untuk memilih apakah dia akan
menanam padi hibrida atau tidak. Petani biasanya sudah memiliki perhitungan
tersendiri. Kalau dia merasa untung dengan menanam padi hibrida pasti dia akan
terus menerus mencari benih padi hibrida, namun apabila baru menanam sekali
sudah rugi pasti dia tidak akan menanam padi hibrida lagi. Semoga saja produsen
benih juga menyadari tentang hal itu, yakni tetap memproduksi benih inbreed
bersertifikat di samping benih padi hibrida sendiri.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari peneliti
padi hibrida BB Padi, dari tahun 2002-2010 telah dilepas 67 varietas padi
hibrida, jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan padi inbreed dalam
rentang waktu yang sama. Tercatat ada 13 perusahaan benih swasta yang ikut
bermain di dalam bisnis padi hibrida ini. BB Padi sendiri telah merilis 17
jenis. Tetua-tetua padi hibrida (umumnya CMS dan maintainer) didatangkan
dari luar negeri, seperti IRRI, Jepang, India, dan Cina, dengan dominasi masih
dipegang Cina. Untuk memenuhi kebutuhan benih hibrida di Indonesia sebagian
besar masih diimpor (didatangkan langsung) dari luar negeri, dan mungkin hanya
sebagian kecil saja yang dibuat di Indonesia. Benih padi hibrida ini juga telah
dimasukkan ke dalam paket subsidi saprodi ke petani dengan harapan produksi
beras dapat ditingkatkan sesuai dengan target pemerintah. Lewat bantuan benih
(subsidi benih) inilah pemain-pemain padi hibrida swasta memasok benih padi
hibrida. Subsidi pemerintah juga cukup besar, sekitar 2 triliunan rupiah untuk
satu tahun anggaran. Maksud baik pemerintah ini semoga menjadi harapan yang
nyata.
Sumber Bacaan
Anonim. 2005. Hybrid Rice and World Food Security
(kumpulan makalah). Yuan Longping and Peng Jiming (eds.). China Science
and Technology Press. 197 p..
Anonim. 2011. Proyek Padi Hibrida dan Nasib Petani. http://aktual.blogdetik.
com/2011/01/08/proyek-padi-hibrida-dan-nasib-petani/
http://www.lpht.com.cn/eng/company/Company.htm (Profile of Long Ping Hi Tech
Company)
Yuan Long-Ping and Fu, Xi-Qin. 1995. Technology of
hybrid rice production. FAO. 84 pages.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar